Ka'bah

Ka'bah

Minggu, 03 Januari 2010

Redaksi Yth.


Khitan yang aman
( sebuah tanggapan )

Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi dalam rubik kesehatan Kompas Minggu tanggal 21 Agustus dengan judul seperti tersebut di atas, menyatakan bahwa beliau mendukung agar tindakan khitan perempuan dibuat panduannya oleh profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia) atau Ikatan Bidan Indonesia untuk menghindari perlakuan berlebihan yang memungkinkan menimbulkan kecacatan pada bayi perempuan. Ini berarti, bahwa beliau menyetujui adanya sunat pada perempuan i c medikalisasinya.
Padahal dalam lokakarya Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan berkaitan dengan praktik sunat perempuan yang berlangsung di Jakarta dalam bulan Juni yang lalu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) Meutia Farida Hatta Swasono telah meminta kepada Departemen Kesehatan untuk menerbitkan larangan bagi petugas medis/paramedis, termasuk fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta untuk tidak melakukan medikalisasi sunat pada perempuan. Dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam sambutan tertulisnya telah menyatakan, bahwa sunat perempuan tidak pernah ada dalam standar pelayanan kesehatan ( Kompas tanggal 2 Juni).
Permintaan larangan medikalisasi sunat pada perempuan dari Menneg PP itu sesungguhnya telah sejalan benar dengan ajaran agama Islam, bahwa sunat perempuan itu sebenarnya tidak perlu, kecuali dalam hal “hypertelia vaginalis”.
Sunat pada perempuan yang dilakukan di negara- negara yang berpenduduk muslim seperti Mesir, Indonesia dll itu hanya didasarkan pada hadits dha’ief. Menurut pakar ilmu Ushulul Fiqh, hadits dha’ief itu “laisa bi hujjah “ , artinya tidak dapat dijadikan pembenaran (justification) atas sunat pada perempuan. Pada umumnya mereka hanya mengikuti adat/kebiasaan yang sudah turun-menurun sejak zaman Jahiliyyah. Bukankah adat/kebiasaan yang jelek itu sebaiknya ditinggalkan saja?


Moechtar Djam’an Djamil -Efy Afifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar